Kesenian Jabar Juwes
Kesenian Jabarjuwes, atau juga disebut Jeberjuwes, pertama kali muncul pada tahun 1962 di Dusun Tengahan, Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan nama asli kesenian Jabur. Kehadirannya berawal dari rasa jenuh masyarakat terhadap seni Wayang Wong, Kethoprak, dan Wayang Golek. Saat itu, para seniman di Desa Sendangagung, termasuk Bapak Darmo Suwito dan Bapak Harjo Suprapto, yang menjabat sebagai Kepala Dukuh, berinisiatif untuk berkreasi, memadukan elemen dari ketiga seni tersebut, dan menciptakan bentuk baru bernama Jabur. Dalam Jabur, terdapat dua karakter komedi, yakni Jeber dan Juwes. Karena kedua tokoh tersebut begitu dikenal dan disukai penonton, kesenian Jabur kemudian disebut sebagai Jabarjuwes, terinspirasi dari nama mereka. Hingga kini, kesenian ini masih lestari meski di Desa Sendangagung hanya ada satu grup, yaitu Sanggar Seni Jeber Jues, yang didirikan pada 4 Januari 1980. Sanggar ini telah terdaftar di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman sejak 29 Desember 2016 dengan nomor induk 626/BUDPAR/2016.
Berasal dari Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, kesenian Jabarjuwes berkembang pula di Dusun Semaken, Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo. Pertunjukan ini mengangkat cerita Menak dalam berbagai lakon yang dipentaskan, merujuk pada Serat Menak, yang merupakan adaptasi dari Kitab Qissa Emir Hamza, sebuah karya sastra Persia pada masa pemerintahan Sultan Harun Al Rasyid (766 - 809 M). Di Nusantara, kisah ini dikenal sebagai Hikayat Amir Hamzah. Dalam tradisi Jawa, Serat Menak diadaptasi oleh pujangga kraton Surakarta, Raden Ngabehi Yasadipura I dan II, menceritakan petualangan pahlawan Amir Ambyah (alias Wong Agung Jayengrana) dari Mekah melawan Prabu Nursiwan dari Medayin. Kesenian Jabarjuwes sering kali membawakan lakon seperti Gangga Mina Gangga Pati, Putri Cina, dan Tejanegara Winusuda, menyesuaikan cerita dengan kreativitas senimannya agar tetap relevan dengan budaya masyarakat.
Dalam setiap pertunjukan, Kesenian Jabarjuwes melibatkan sekitar 35 pemain, terdiri dari pemain wayang (sekitar 20 orang), pengrawit (15 orang), dalang, dan waranggana. Pemain wayang memerankan lakon sesuai cerita, pengrawit memainkan gamelan, dalang mengatur cerita, dan waranggana melantunkan tembang Jawa. Musik gamelan Jabarjuwes awalnya hanya berlaraskan slendro, namun sekarang juga menggunakan laras pelog, sehingga lebih variatif. Gamelan terdiri dari saron, demung, bonang, kendhang, gong, dan lain-lain, dengan gendhing seperti Ladrang Kabor dan Lancaran Mayar Sewu untuk mengiringi berbagai adegan.
Pertunjukan Jabarjuwes memiliki urutan penyajian dramatari tradisional, dimulai dengan pembukaan gendhing, dilanjutkan dengan adegan seperti jejer, gandrungan, lawakan, peperangan, dan ditutup dengan gendhing bubaran. Dalam adegan lawakan, tokoh Jeber dan Juwes menampilkan humor yang segar dan menghibur. Gerak tari Jabarjuwes meniru wayang golek, dengan gerakan kaku dan patah-patah, serta posisi tangan ngruji seperti wayang. Dialognya mempergunakan bahasa Jawa Yogyakarta, baik itu krama, krama madya, atau ngoko, dengan campuran bahasa Indonesia untuk kesan humor.
Tata busana dan rias dalam Jabarjuwes memiliki peran penting dalam membentuk karakter tokoh. Ada dua macam rias, yaitu rias karakter untuk pria dan rias wajah untuk wanita. Busana yang digunakan mirip dengan kesenian Kethoprak, Wayang Wong, dan Wayang Golek. Alat tari seperti sampur, keris, panah, tombak, dan tameng berfungsi mendukung estetika dan karakter peran. Tata pentas Jabarjuwes meliputi arena, kelengkapan tata lampu, dan tata suara yang dahulu sederhana namun kini berkembang sesuai kemajuan teknologi. Pertunjukan Jabarjuwes dahulu berlangsung di pendapa dengan penonton di tiga sisi, namun saat ini lebih fleksibel mengikuti tempat pementasan yang tersedia.